Oleh : Adinda Putri Nabiilah SH
Bangka Belitung – Seleksi calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bangka Belitung periode 2025–2028 tidak lagi sekadar persoalan teknis administratif. Ia telah menjelma menjadi cermin yang memantulkan persoalan lebih mendasar: bagaimana integritas lembaga legislatif diuji ketika prosedur hukum berhadapan dengan kepentingan, ego, dan tafsir kewenangan yang tumpang tindih.
Pengakuan Ketua DPRD Babel Didit Srigusjaya bahwa proses seleksi KPID cacat prosedur dan mengandung maladministrasi adalah pernyataan serius. Apalagi, pengakuan itu bukan berbasis opini personal, melainkan bertumpu pada telaah Badan Hukum DPRD sendiri serta rekomendasi Ombudsman RI. Dua poin krusial menjadi sorotan: tidak dilibatkannya unsur KPI Pusat dalam panitia seleksi dan perubahan jumlah peserta uji publik dari 21 menjadi 36 orang tanpa dasar hukum normatif yang sah.
Di titik ini, publik sebenarnya berharap satu hal sederhana: konsistensi. Jika sejak awal diakui cacat prosedur, maka jalan keluarnya seharusnya lurus—perbaikan atau pengulangan proses.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Muncul perbedaan sikap antara Ketua DPRD dan Komisi I DPRD Babel, yang terkesan saling melempar tanggung jawab dan berlindung di balik tafsir kewenangan masing-masing.
Komisi I bersikukuh bahwa fit and proper test telah dilaksanakan secara profesional, transparan, dan akuntabel, sehingga hasilnya layak ditetapkan. Di sisi lain, Ketua DPRD menegaskan bahwa meneruskan hasil seleksi yang telah dinyatakan cacat justru berpotensi melanggar undang-undang dan menjadi temuan hukum di kemudian hari. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: jika memang prosedurnya salah sejak awal, bagaimana mungkin hasil akhirnya dianggap sah?
Di sinilah pentingnya memahami etika dan batas peran anggota legislatif. Dalam kode etik DPRD—baik yang diatur dalam peraturan DPRD maupun prinsip umum etika penyelenggara negara—anggota legislatif dituntut untuk menjunjung tinggi integritas, kehati-hatian, dan kepatuhan pada hukum. Salah satu prinsip kuncinya adalah menghindari konflik peran (conflict of role) dan penyalahgunaan kewenangan.
DPRD, termasuk Komisi I, bukanlah “penalis” atau hakim seleksi komisioner KPID. Peran DPRD adalah menjalankan fungsi konstitusional sesuai koridor hukum: memastikan proses berjalan sesuai aturan, bukan menjustifikasi hasil dari proses yang sudah dinyatakan bermasalah. Ketika anggota legislatif terlalu jauh masuk ke wilayah teknis seleksi dan mempertahankan hasilnya, di situlah etika mulai dipertaruhkan.
Lebih jauh, perubahan jumlah peserta dari 21 menjadi 36 orang dengan nomor surat yang sama namun isi berbeda bukan sekadar kesalahan administrasi biasa. Itu menyangkut prinsip kepastian hukum dan keadilan prosedural. Dalam perspektif etika legislatif, membiarkan atau membenarkan praktik semacam ini sama artinya dengan mengabaikan asas tertib administrasi negara—asas yang justru harus dijaga oleh wakil rakyat.
Sikap Ketua DPRD yang memilih membawa persoalan ini ke rapat Badan Musyawarah (Banmus) patut diapresiasi sebagai upaya mencari jalan institusional. Namun Banmus tidak boleh menjadi ruang kompromi politik yang mengaburkan fakta hukum. Rekomendasi Ombudsman bersifat wajib ditindaklanjuti, bukan sekadar bahan pertimbangan yang bisa dinegosiasikan.
Jika DPRD Babel tetap memaksakan pengusulan tujuh nama anggota KPID terpilih dari proses yang diakui cacat, maka konsekuensinya bukan hanya pada legitimasi KPID ke depan, tetapi juga pada wibawa DPRD itu sendiri. Anggaran negara terancam bermasalah, dan anggota KPID yang dilantik berpotensi tersandera konflik hukum sejak hari pertama menjabat.
Pada akhirnya, kasus seleksi KPID Babel adalah pelajaran penting tentang integritas kelembagaan. Publik tidak menuntut DPRD sempurna tanpa kesalahan. Namun publik berhak menuntut kejujuran, konsistensi, dan keberanian untuk mengoreksi kekeliruan. Etika legislatif yang berintegritas bukan diukur dari seberapa keras mempertahankan keputusan, melainkan dari seberapa berani mengakui kesalahan dan memperbaikinya sesuai hukum.
Jika DPRD Babel ingin menjaga marwahnya sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka satu-satunya jalan adalah menempatkan hukum dan etika di atas ego sektoral. Seleksi KPID bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk melahirkan penyiaran yang sehat. Dan sarana yang cacat sejak awal, mustahil melahirkan tujuan yang bermartabat.
*Catatan Penutup: Memulihkan Marwah, Mengembalikan Kepercayaan*
Dalam demokrasi lokal, kepercayaan publik adalah mata uang paling mahal. Ia tidak dibangun dari retorika pembenaran, melainkan dari keberanian mengambil keputusan yang benar meski tidak populer. DPRD Babel kini berada di persimpangan: memilih jalan korektif dengan mengulang proses seleksi sesuai hukum, atau mempertahankan hasil yang sejak awal telah dinyatakan cacat prosedur.
Etika anggota legislatif menuntut sikap *self-restraint*—kemampuan menahan diri agar tidak melampaui kewenangan. Dalam konteks ini, DPRD semestinya bertindak sebagai pengawal prosedur, bukan pembela hasil. Mengulang seleksi bukanlah kekalahan politik, melainkan kemenangan etika dan hukum.
Rekomendasi yang seharusnya diambil Banmus sederhana namun tegas. Pertama, menyatakan seluruh rangkaian seleksi yang terdampak maladministrasi tidak memiliki kekuatan legitimasi. Kedua, memerintahkan pengulangan proses dari tahapan yang cacat dengan melibatkan KPI Pusat sebagaimana ketentuan. Ketiga, memastikan transparansi sejak awal agar tidak lagi ada ruang tafsir ganda, surat ganda, atau kebijakan yang lahir dari tekanan pihak tertentu.
Jika langkah ini ditempuh, DPRD Babel justru akan dikenang sebagai lembaga yang berani mengoreksi diri. Namun jika sebaliknya, DPRD berisiko menormalisasi pelanggaran prosedur sebagai praktik yang lumrah—preseden buruk yang akan diwariskan pada proses seleksi lembaga independen lainnya.
Seleksi KPID Babel seharusnya menjadi momentum pembelajaran kolektif: bahwa hukum tidak boleh dikalahkan oleh ego, dan etika tidak boleh dinegosiasikan oleh kepentingan. Di sanalah integritas wakil rakyat diuji, dan di sanalah publik menanti keputusan yang berpihak pada kebenaran, bukan sekadar kemenangan prosedural semu. (Red)
————————————————–
Penulis : Adinda Putri Nabiilah, S.H.,C.IJ., C.PW. Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH UNSRI) Tahun 2023 saat ini menjadi Editor di Jejaring Media KBO Babel, dan magang Advokat di Kantor Hukum J.A. Ferdian & Panthership.
Saran & Masukan terkait dengan tulisan opini silahkan disampaikan ke nomor redaksi 0812-7814-265 atau 0821-1227-4004












