Jakarta — Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI) angkat suara terkait dugaan kriminalisasi terhadap dr Ratna Setia Asih, SpA, setelah Majelis Disiplin Profesi (MDP) merekomendasikan sang dokter sebagai satu-satunya tersangka dalam kasus kematian pasien anak AR (10) di RSUD Depati Hamzah. Rabu (3/12/2025).
Penetapan rekomendasi tersebut dianggap janggal, tidak berdasar pada etika profesi, dan menunjukkan ketimpangan penilaian disiplin medis yang seharusnya menjadi ranah utama MDP.
MGBKI: Mengapa Hanya dr Ratna?
Kasus ini bermula dari meninggalnya pasien AR yang sebelumnya mengeluhkan demam dan muntah, serta sempat berobat di tiga fasilitas kesehatan berbeda dan ditangani total delapan dokter.
AR kemudian masuk ke IGD RSUD Depati Hamzah dengan kondisi muntah dan lemas.
Pada saat itu, dr Ratna memberi instruksi medis awal melalui telepon karena pasien diduga mengalami dehidrasi atau gangguan gastrointestinal.
Ketidakhadirannya di IGD kemudian disebut sebagai unsur dugaan malapraktik, meskipun penanganan klinis saat itu dilakukan oleh tenaga jaga dan melibatkan berbagai dokter.
Kondisi AR memburuk cepat. Pemeriksaan EKG menunjukkan kelainan jantung sehingga dr Ratna merujuk pasien ke spesialis jantung di rumah sakit yang sama.
Namun, upaya medis tidak berhasil, dan AR dinyatakan meninggal dunia sekitar pukul 11.00–11.30 WIB.
MDP Dinilai Keliru Menilai Prosedur Medis
Setelah laporan keluarga pasien diproses Polda Kepulauan Bangka Belitung, MDP dibentuk untuk memberi rekomendasi atas penyidikan pidana.
Namun hasilnya mengejutkan: dari delapan dokter yang menangani AR, hanya dr Ratna yang dinyatakan layak diproses sebagai tersangka pidana.
MGBKI menilai keputusan tersebut tidak proporsional dan tidak didasarkan pada pemahaman klinis yang memadai.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Prof Mohammad Akbar, PhD, SpN Subsp NIIIOO(K), menyebut MDP telah bergeser dari mandat etik profesi menjadi lembaga yang justru menjerumuskan tenaga kesehatan ke ranah pidana tanpa memahami kompleksitas praktik kedokteran.
“Pernah lihat pelanggaran militer diadili orang sipil? Tidak, kan? Tapi hal seperti itu terjadi di MDP,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (2/11/2025).
Menurutnya, struktur MDP didominasi oleh latar belakang hukum dan sangat minim praktisi medis.
Akibatnya, keputusan yang dihasilkan tidak mencerminkan kearifan klinis yang seharusnya menjadi fondasi utama penilaian disiplin dokter.
“Keputusan-keputusan mereka menunjukkan tidak adanya pemahaman mendalam tentang proses dan risiko klinis di ruang praktik. Orang hukum belajarnya pidana, sementara kita mempertimbangkan banyak aspek medis,” tegasnya.
Prof Akbar mendesak reformasi total MDP agar kembali menjalankan peran fundamentalnya: menjaga disiplin profesi, bukan menjerat dokter dengan pendekatan hukum semata.
MDP Dinilai Menyimpang dari Marwah Profesi
Kritik serupa disampaikan Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Prof Yudhi Maulana Hidayat.
Ia menyebut MDP telah kehilangan marwah dan tujuan awal keberadaannya.
“Semestinya MDP mengurusi disiplin dan etika profesi. Tapi yang terjadi justru mengarah pada kriminalisasi dokter,” ujarnya.
Menurut Prof Yudhi, keputusan MDP yang memicu proses pidana adalah preseden berbahaya. Ia menilai dokter akan semakin takut mengambil keputusan cepat dalam kondisi gawat darurat, karena ancaman kriminalisasi seperti yang dialami dr Ratna.
“Dokter merasa tidak terlindungi. Setiap tindakan klinis sekarang dihantui kekhawatiran karena bisa diproses pidana tanpa memahami konteks kedaruratan,” lanjutnya.
Desakan Reformasi dan Perlindungan Tenaga Medis*
Kasus ini kembali menyoroti rentannya tenaga kesehatan berhadapan dengan proses hukum ketika MDP tidak bekerja sesuai prinsip etik profesi. MGBKI dan berbagai kolegium kedokteran menilai urgensi pembenahan struktur, kompetensi, dan mekanisme kerja MDP, agar tidak lagi terjadi kriminalisasi yang dapat mencederai pelayanan medis di Indonesia. (Sunarto/KBO Babel)












