Berita Faktanews//-Sumatera kembali diguncang banjir besar yang melumpuhkan sejumlah wilayah, memakan korban jiwa, dan menghancurkan infrastruktur. Banyak pihak buru-buru menyebutnya sebagai dampak “cuaca ekstrem” atau “fenomena siklon tropis langka”. Namun, melihat pola kerusakan yang terus berulang dalam beberapa tahun terakhir, bencana ini jelas bukan sekadar persoalan cuaca.
Fenomena siklon tropis Senyar dan Koto yang lahir di Selat Malaka—lokasi yang sebelumnya diyakini mustahil menjadi pusat pembentukan siklon—memang menegaskan perubahan iklim yang kian nyata. Namun para ahli menilai, siklon hanyalah pemicu, bukan akar persoalan. Banjir bandang besar hanya mungkin terjadi karena kondisi ekologis Sumatera yang telah rusak parah akibat ekspansi industri ekstraktif dan tata kelola lingkungan yang lemah.
Ekspansi Sawit, Tambang, dan Hilangnya Hutan
Dalam satu dekade terakhir, perkebunan sawit meluas hingga jutaan hektar. Di saat yang sama, tambang nikel, batu bara, dan emas merambah kawasan hulu sungai. Penebangan hutan, baik legal maupun ilegal, terjadi tanpa kontrol yang memadai. Pemerintah daerah berlomba mengeluarkan izin demi mengejar pendapatan, sementara pemerintah pusat mendorong percepatan investasi seakan pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai melalui eksploitasi alam.
Akibatnya, tutupan hutan—penahan air paling efektif—tergerus. Sawit tidak memiliki sistem akar yang mampu menahan erosi seperti hutan tropis. Tambang di lereng perbukitan membuka lahan-lahan rawan longsor. Sungai kehilangan daerah resapan, sementara sedimentasi meningkat. Ketika hujan ekstrem datang, air meluncur turun tanpa hambatan, membawa material dalam volume besar dan menghantam pemukiman.
Struktur Ekonomi Menekan Warga Kecil
Kerusakan lingkungan sering ditimpakan kepada masyarakat kecil: penambang rakyat, peladang, hingga pembalak skala rumah tangga. Padahal faktanya, masyarakat kecil justru hidup dalam tekanan ekonomi yang membatasi pilihan mereka. Akses ke hutan telah dikuasai konsesi besar, pekerjaan layak minim, dan ruang hidup makin menyempit.
Mengabaikan peran industri besar dan hanya menyalahkan rakyat kecil adalah penyederhanaan yang menyesatkan.
Respons Negara Lamban
Pertanyaan besar pun muncul: mengapa bencana sebesar ini tidak segera ditetapkan sebagai bencana nasional? Mengapa perhatian pemerintah pusat terkesan lambat dan tidak seintens ketika bencana terjadi di Pulau Jawa?
Pengamat menilai, perhatian negara dan media masih sangat terpusat pada Jawa. Penetapan bencana nasional membawa implikasi politik dan anggaran yang besar. Mengakui bencana ekologis juga berarti mengakui kegagalan tata kelola lingkungan selama bertahun-tahun—sesuatu yang tampaknya belum siap diakui pemerintah.
Paradigma Pembangunan yang Keliru
Model pembangunan Indonesia masih bertumpu pada logika lama: ekspansi ekonomi dulu, pemulihan lingkungan nanti. Paradigma tersebut tetap dipertahankan dalam berbagai program nasional, termasuk gagasan pembangunan ekonomi terpimpin atau state capitalism yang kini menjadi narasi pemerintah.
Dalam kerangka itu, hutan tetap dipandang sebagai sumber komoditas, sungai sebagai kanal infrastruktur, dan masyarakat adat sebagai pihak yang harus menyingkir. Selama paradigma ini dipertahankan, bencana ekologis akan terus terjadi—bahkan semakin sering dan semakin mematikan.
Kerusakan Ekologis = Kerusakan Sosial
Setiap bukit yang digali untuk tambang bukan hanya menghilangkan pepohonan, tetapi juga ruang sakral masyarakat adat, tanah ulayat, dan nilai budaya. Korban paling rentan adalah perempuan, anak-anak, masyarakat desa, dan komunitas adat. Mereka adalah kelompok pertama yang kehilangan tempat tinggal, mata pencarian, dan rasa aman.
Indonesia Emas 2045 Kian Jauh
Wacana Indonesia Emas 2045 terasa semakin utopis jika setiap tahun bangsa ini dihantam bencana besar. Tidak mungkin sebuah negara maju berdiri di atas lingkungan yang runtuh. Tidak mungkin bonus demografi diraih jika generasi muda tumbuh dalam ancaman bencana, krisis iklim, dan hilangnya ruang hidup.
Sumatera sudah memberi peringatan keras: setiap izin tambang, setiap alih fungsi hutan, dan setiap sungai yang disempitkan adalah investasi menuju bencana berikutnya—dengan biaya sosial dan ekologis yang jauh lebih besar daripada keuntungan ekonomi jangka pendek.
Peringatan yang Sudah Berkali-kali Datang
Para ilmuwan, aktivis lingkungan, masyarakat adat, dan korban bencana sudah lama memberi peringatan. Namun seruan itu tidak pernah benar-benar diterjemahkan ke dalam kebijakan yang tegas. Jika pembangunan tidak mengubah arahnya, banjir Sumatera hanya menjadi bab awal dari rangkaian panjang bencana ekologis lain yang lebih besar.
Seperti kata Ebiet G. Ade dalam lagunya, mungkin sudah waktunya kita bertanya pada rumput yang bergoyang—mengapa kita tak pernah belajar? (R01-R12-BFN)












